Menghimpun Lalu Mengabarkan Untuk Bone yang Lebih Baik

Sabtu, 11 Agustus 2012

SBY Minta Menteri Mengundurkan Diri

SUDAH hampir tiga minggu pernyataan itu dikeluarkan, gaungnya hingga kini masih terasa nyaring di kuping. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan Sidang Kabinet Paripurna meminta menterinya yang sibuk berpolitik agar mengundurkan diri.

Inilah pernyataan paling keras yang disampaikan Presiden SBY sejak menjabat tahun 2004. "Bagi saudara (menteri) yang memang tidak bisa membagi waktu dan harus menyukseskan tugas politik, parpol manapun, saya persilakan baik-baik untuk mengundurkan diri," tegas SBY.
Siapa menteri yang dibidik? Tak jelas. Namun, banyak kalangan menduga, teguran keras Presiden SBY itu tak hanya ditujukan kepada menteri yang berasal dari partai politik (parpol), tapi juga dari kalangan profesional yang suka ‘berakrobat’ dan tak paham tata negara.
Sekali lagi, siapa? Banyak kalangan melirik pada sosok Menteri BUMN Dahlan Iskan. Sejak dilantik Oktober tahun lalu, gebrakan Dahlan mengganti sejumlah direksi dan komisaris BUMN, membuat beberapa menteri jengkel. Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam, misalnya. Beberapa waktu lalu, Dipo mengadukan langkah koleganya ini kepada Presiden SBY.
Pengaduan Dipo terangkum dalam dua halaman memorandum bertanggal 10 April 2012.

Dalam memorandum itu, ia meneruskan laporan Dahlan mengenai penggantian direktur utama dan komisaris utama di lima BUMN: PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Rajawali Nusantara Indonesia, PT PAL Indonesia, dan PT Pindad.
Disebutkan dalam memorandum tersebut, penggantian tersebut dilakukan secara tak patut. Menteri BUMN dinilai lancang karena main tunjuk direktur atau komisaris tanpa melibatkan tim penilai akhir (TPA) yang diketuai Presiden.

Presiden menyikapi memorandum tersebut dengan memberikan disposisi yang antara lain memerintahkan Dipo agar menyampaikan secara tertulis kepada Menteri BUMN. Isinya bahwa kecepatan bertindak memang diperlukan, tapi jangan melanggar aturan karena bisa ada “bom waktu”.
Disposisi dari Presiden itulah yang kemudian bocor ke mana-mana. Catatan tentang “adanya bom waktu” tak urung mengundang spekulasi, tidak sedikit petinggi BUMN yang merapatkan barisan agar tak kena sapu bersih-bersih ala Dahlan.
Gayung bersambut, kecemasan sejumlah petinggi BUMN disikapi Dipo bersama Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi dengan peringatan kepada Dahlan agar mematuhi Instruksi Presiden No9 Tahun 2005. Dalam instruksi tersebut diatur, Menteri BUMN diperintahkan melaporkan hasil penjaringan calon direksi, komisaris, atau Dewan Pengawas BUMN kepada TPA.

Dahlan sendiri mengakui ia sempat mendapat beberapa kali teguran ketika berencana merampingkan jumlah perusahaan negara pada akhir tahun 2014, dari 141 BUMN menjadi 70 perusahaan. Teguran-teguran itu disebut sebagai kartu kuning.
Bahkan untuk urusan lain di luar bersih-bersih BUMN, ia mengaku mendapatkan kartu kuning lagi, yang disebutnya sebagai kartu kuning ketiga. “Iya, saya mendapat kartu kuning karena mengumumkan akan menyumbang (dana) buat gedung Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK). Ini kartu kuning ketiga, ha-ha-ha…,” katanya saat itu.

Kalau teguran keras Presiden SBY tadi, apakah ditujukan kepada Dahlan? “Itu sih mungkin ditujukan kepada partai politik, saya kan enggak punya partai politik, ha-ha-ha…,” kata Dahlan kepada InilahREVIEW, Jumat pekan lalu.

Soal Menkeu
Lain Dahlan, lain lagi Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo. Menteri yang satu ini, kabarnya juga sedang dalam sorotan Istana. Yang paling anyar adalah kekalahan gugatan Presiden SBY atas divestasi 7% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa pekan lalu. "Permohonan tak beralasan hukum," kata Ketua MK Mahfud MD.
MK beralasan, dana yang digunakan untuk membeli saham Newmont merupakan dana negara yang penggunaannya harus atas persetujuan DPR. Meski dibeli melalui Pusat Investasi Pemerintah, anggaran itu tetap harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sengketa kewenangan pembelian 7% saham Newmont masuk ke MK sejak beberapa bulan lalu. Bertindak sebagai pemohon adalah Presiden melaluiMenteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun DPR bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai Termohon I dan Termohon II.
Pemerintah berpendapat, pihaknya memiliki hak konstitusional melakukan investasi dengan membeli 7% saham Newmont, tanpa melalui persetujuan DPR. Sedangkan DPR dan BPK berpendapat sebaliknya, bahwa Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum melakukan penyertaan modal.
Akhirnya, ya itu tadi, Pemerintah kalah di MK. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Aziz, kekalahan itu memperlihatkan Menkeu Agus Martowardojo tak mengerti tata negara. “Putusan MK ini membuat Presiden SBY sebagai Kepala Negara, dipermalukan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo,” kata Harry.
Karena itu, lanjut Harry, Agus agar secepatnya mengundurkan diri dari jabatan Menkeu karena telah melakukan langkah yang salah. Apalagi sebelumnya Agus sesumbar jika gagal dalam menangani divestasi Newmont akan mengundurkan diri. “Jadi sekali lagi, Menkeu Agus Martowardojo harus gentleman,mundur saja,” tegas Harry.
Agus juga dianggap bikin kisruh dalam proyek Jembatan Selat Sunda (JSS). Ia, misalnya, meminta agar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Infrastruktur Selat Sunda (KSISS) direvisi.
Pertama, ada pemisahan antara pengembangan kawasan dengan pembangunan jembatan. Kedua, agar studi kelayakan dibiayai melalui APBN. Setelah itu, proyek JSS akan ditenderkan. Siapa pun yang memenangkan tender akan mengembalikan dana APBN yang telah dikeluarkan.
Dalam rapat yang berlangsung tiga pekan lalu, dua usulan Agus ini ditolak. Soal pemisahan antara pengembangan kawasan dengan pembangunan jembatan, misalnya. Usulan ini bertentangan dengan Perpres. Sebab, Perpres menyebutkan, KSISS adalah kawasan terpadu. Kemudian mengenai dana studi kelayakan yang diambil dari APBN, padahal Perpres mengatakan, tidak memakai dana APBN. "Jadi tidak diperlukan perubahan Perpres,” kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa, yang memimpin rapat.
Soal Perpres Nomor 86 Tahun 2011 ini, Presiden SBY juga angkat bicara. "Kalau tafsirannya kurang jelas, ya diperjelas. Kalau memang perlu ada yang diubah, ya diubah. Namanya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri itu bisa disesuaikan, namun tidak sembarangan," ujar SBY.
Koordinasi Agus dengan menteri-menteri di linkungan ekonomi juga sangat kurang. Bahkan yang sangat konyol, cerita seorang sumber, Agus pernah melangkahi atasannya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Peristiwa itu terjadi ketika Agus menulis memo yang langsung ditujukan kepada Presiden SBY, tanpa melalui Hatta.
“Memo itu mengenai pembangunan Jembatan Selat Sunda. Awalnya semua oke dengan proyek ini, tapi ketika Agus diangkat menjadi Menkeu, dia bilang proyek ini tidak layak. Namun memo itu kemudian diserahkan oleh SBY kepada Hatta,” kata sumber.
Agus juga dianggap sering menimbulkan kegaduhan politik karena tidak mampu berkomunikasi dengan anggota DPR. Soal Agus kaku membangun komunikasi politik dengan anggota DPR bukan cerita baru. “Tapi kita maklumi, karena itu sudah karakter dan bawaan lahir. Ha-ha-ha...,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Aziz, beberapa waktu lalu.
Karena itu, menjelang reshuffle kabinet Oktober tahun lalu, banyak orang di lingkaran Istana mengusulkan kepada Presiden SBY agar mengganti Agus. Namun, kata sumber tadi, Agus tak jadi diganti karena mendapat garansi dari Wakil Presiden Boediono. Agus dianggap salah satu andalan Boediono yang mampu menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional 6,5% setiap tahun. Inilah, lanjut sumber, salah satu kontrak politik Boediono ketika akan menjadi Wakil Presiden.

Soal Djan Faridz
Menteri lain yang dianggap menjadi duri bagi Presiden SBY adalah Menteri Perumahan Rakyat (Menpera), Djan Faridz yang berasal dari PPP. "Saya lihat Ketum membahas lebih serius soal Djan Faridz ini. Saya belum bisa sampaikan ke mana arahnya," kata Ketua DPP PPP, Arwani Thomafi, kepada detikcom, Jumat pekan lalu.
Sebelumnya, memang tersiar bahwa Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali telah mengusulkan kepada Presiden SBY agar mengganti Djan Faridz sebagai Menpera. Alasannya, Djan dianggap terlalu sibuk berpolitik ketimbang mengurus tugas utamanya sebagai Menpera. "Pak SBY juga sudah tahu kalau Djan Faridz turut terlibat langsung mendanai beberapa kandidat Gubernur DKI Jakarta, antara lain pasangan Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama, dalam Pilkada putaran pertama yang lalu," kata sumber, seperti dikutip Inilah.com.
Namun, Suryadharma yang dikonfirmasi soal ini membantah kalau dia telah mengusulkan kepada Presiden SBY agar mengganti Djan Faridz. "Itu berita bohong, tidak ada permintaan dari DPP PPP untuk menarik saudara Djan Faridz sebagai Menpera. Selain itu, pergantian kursi menteri bukan kewenangan ketua parpol. Reshuffle itu kewenangan Presiden," katanya.
Tapi, apapun kata Suryadharma, teguran Presiden SBY kepada menterinya yang sibuk berpolitik agar mundur, tak bisa diabaikan. Sebab, bisa jadi, menteri-menteri ini telah m
sumber : inilah.come
njadi duri bagi Presiden SBY.

Berita Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar


NASIONAL

NEWS


PEMILUKADA

OTONOMI DAERAH

SOSBUD


PILGUB

BONE NEWS

BIROKRASI

OPINI


LAW END CRIME