Menghimpun Lalu Mengabarkan Untuk Bone yang Lebih Baik

Kamis, 10 November 2011

RUU Pilkada: Anak dan Istri Bupati Dilarang Bertarung di Pilkada


Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang tengah disusun pemerintah memuat dua perubahan yang sungguh penting dan tampaknya akan mengubah konstelasi pilkada di banyak daerah. Dua perubahan itu adalah: pertama, wakil kepala daerah tidak lagi dipilih bersama kepala daerah, tapi berasal dari kalangan PNS dan ditunjuk oleh kepala daerah terpilih serta disetujui pemerintah pusat. Kedua, RUU ini melarang keras keluarga terdekat kepala daerah incumbent untuk bertarung di pilkada.

Wakil Kepala Daerah diangkat dari PNS
Wakil kepala daerah mendatang, kemungkinan tidak akan lagi memiliki kekuasaan sebesar sekarang. Draf RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang disusun pemerintah menegaskan, bahwa seorang wakil tidak akan serta merta mengisi posisi yang kosong ketika seorang kepala daerah berhalangan
Sesuai draf yang segera akan diajukan ke DPR, jabatan yang ditinggal kepala daerah yang berhalangan tetap akan dijalankan wakilnya hanya sampai enam bulan. "Kemudian setelah itu kita laksanakan pemilihan baru," ujar Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, di, Jakarta, Kamis (27/10). 

Lebih lanjut, dia menegaskan, bahwa hal tersebut secara otomatis akan mengatasi sejumlah kasus wakil kepala daerah yang berseteru dengan kepala daerahnya, yang sempat muncul di beberapa daerah selama ini. "Bahkan, kepala daerah bisa usulkan pemberhentian yang bersangkutan (wakilnya, Red)," imbuh Djohermasyah. 

Kepala daerah dalam mengusulkan atau mengajukan pemberhentian wakilnya tidak perlu berurusan dengan DPRD. "Aneh-aneh mau lawan, kepala daerah bisa usulkan ke pemerintah pusat, nggak ada urusan dengan DPRD," tandasnya. 

Sebagaimana telah diberitakan, mekanisme pemilihan kepala daerah tidak lagi satu paket. Atau, yang dipilih hanya kepala daerah saja. Posisi wakil kepala daerah, dalam draf RUU, ditunjuk oleh kepala daerah terpilih dan disetujui pemerintah pusat. 

Wakil tersebut dipilih dari birokrat karier. Untuk wakil gubernur syarat kepangkatannya minimal setara eselon I B. Sedangkan untuk wakil bupati/walikota minimal eselon II A. "Jumlahnya nanti juga bervariasi, bisa satu atau lebih, atau bahkan tidak ada sama sekali," imbuh Djohermasyah. 

Kriteria yang akan digunakan untuk mengukur jumlah wakil adalah jumlah penduduk. Misalnya, ungkap dia, suatu wilayah provinsi yang memiliki penduduk di atas 10 juta bisa memiliki dua wakil gubernur. Dan, jika penduduknya 5-10 juta maka cukup satu wakil. Sedangkan, jika hanya memiliki di bawah 5 juta penduduk, maka tidak perlu wakil. 

Selaras, lanjut Djohermansyah, untuk kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk di atas 4 juta maka berhak mendapat dua wakil. "Yang nggak ada 100 ribu (penduduk), ngapain juga pakai wakil, itu kan kecil saja," katanya. 

Pengamat politik LIPI Syamsuddin Harris, sepakat dengan usulan pemerintah bahwa pemilihan kepala daerah tidak lagi satu paket dengan wakilnya. "Mungkin bisa dihapus saja sekalian, ini juga untuk efektivitas," ujar Syamsuddin. 

Namun demikian, dirinya tidak setuju dengan alasan pemerintah mengajukan kalau gubernur nantinya cukup dipilih DPRD, dengan alasan efektivitas pemerintahan. Menurut Syamsuddin, sistem pemilihan tidak ada hubungannya dengan efektivitas pemerintahan meski gubernur wakil pemerintah pusat di daerah. 

Menurut dia, efektivitas pemerintah sebenarnya sebenarnya lebih bisa diatur dan dibenahi di RUU Pemerintahan Daerah (Pemda). "Yang menjadi soal sebenarnya bukan system pemilihan, tapi bahwa gubernur sebagai wakil dari pusat itu tidak ada paying konstitusinya hingga saat ini," tandasnya. 

Keluarga Incumbent Tidak Boleh Mencalonkan Diri

Selain itu, dalam draf RUU Pilkada, nantinya juga akan diatur larangan mencalonkan diri bagi keluarga terdekat kepala daerah (suami, istri, dan anak). Untuk gubernur tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur sebelumnya. Hal yang sama juga diterapkan untuk calon bupati dan walikota. Hanya saja selain dengan bupati/walikota sebelumnya, larangan juga dterapkan untuk gubernur sebelumnya.

Dirjen otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, memaparkan, larangan itu berlaku untuk keluarga inti kepala daerah incumbent yang ingin mencalonkan diri, baik di pemilihan bupati, walikota, ataupun gubernur.

"Mata rantai politik dinasti harus kita putus melalui cara ini," ujar Djohermansyah di sela-sela acara dialog publik di Jakarta, Kamis (27/10/2011).

Dalam dialog yang digelar lembaga kajian Seven Strategic Studies itu, Djohermansyah menambahkan, larangan mencalonkan diri bagi keluarga inti kepala daerah berlaku selama satu periode jabatan.

"Jadi sifatnya cutting off lima tahun. Dengan begitu maka politik dinasti akan terhapus dengan sendirinya," jelasnya.

Djohermansyah berharap, larangan tersebut nantinya mampu menciptakan harmonisasi dalam pemerintahan. Dia tidak membantah politik dinasti yang terjadi sekarang ini berpotensi menimbulkan penyalahgunawaan kekuasaan.

"Ini juga untuk mencegah kepala daerah berikutnya melindungi kepala daerah sebelumnya yang terlibat kasus hukum," tegasnya.

Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap menyatakan setuju dengan larangan mencalonkan diri bagi keluarga inti kepala daerah. Menurutnya, masalah pencalonan dalam Pilkada memang harus diatur lebih rigid demi menutup celah bagi penyalahgunaan kewenangan.

"Karena itu, memang patut dipertimbangkan secara serius usulan agar anak istri kepala daerah dilarang mencalonkan diri," ujar Chairuman.

Sebelumnya, berdasar hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010, terdapat sembilan kepala daerah terpilih yang masih kerabat dekat dengan kepala daerah sebelumnya. Para kepala daerah itu antara lain Bupati Kendal Widya Kandi Susansi, istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro yang dicopot karena kasus korupsi.

Selain itu Rita Widyasari yang terpilih sebagai Bupati Kutai Kertanegara. Dia adalah anak kandung mantan Bupati Kukar yang juga lengser karena terbukti korupsi, Syaukani HR. Kemudian Rycko Mendoza, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP yang terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Juga di Lampung, ada anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma yang terpilih sebagai Bupati di Pesawaran.

Sementara di Tabanan, Bali, ada Ni Putu Eka wiryastuti yang juga anak Bupati sebelumnya. Sedangkan di Kediri ada Haryanti Sutrisno, yang tak lain adalah istri sang bupati terdahulu. Di Cilegon, Banten, ada Imam Aryadi yang juga Putra Walikota. Sedangkan di Bantul, Yogyakarta, Sri Suryawidati yang juga istri Bupati sebelumnya, Idham Samawi, terpilih sebagai Bupati. Terakhir di Indramayu, ada nama Anna Sophanah yang juga terpilih sebagai Bupati. Suami Anna, sebelumnya juga Bupati.

sumber : http://adeksi.or.id

Berita Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar


NASIONAL

NEWS


PEMILUKADA

OTONOMI DAERAH

SOSBUD


PILGUB

BONE NEWS

BIROKRASI

OPINI


LAW END CRIME