Menghimpun Lalu Mengabarkan Untuk Bone yang Lebih Baik

Rabu, 15 Agustus 2012

To Manurung dan To Tompo, Penelusuran Muasal Raja Bugis

Mungkin anda pernah bertanya perihal penduduk pertama di Sulawesi Selatan, tapi sampai saat ini belum ada rujukan yang bisa menjawab rasa penasarn anda tersebut. Para arif cendekia Sulawesi dari masa ke masa telah meninggalkan catatan hasil penelitian mereka. Semuanya untuk kita baca dan melanjutkan upaya pendalaman itu di masa kini agar tergambar jawaban yang entah mengakhiri penasaran anda atau semakin membuat untuk bertanya lebih jauh
………………………………………………………………………………
……………..

Syahdan, pada tahun 1972 pakar Van Heekeren mengemukakan pendapatnya, bahwa : Kemungkinan besar Sulawesi Selatan telah dihuni sejak pertengahan atau penghujung kala Pleistosen Akhir, yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun SM (Heekeren, Stone Age:66-72, kutipan Pelras C, Manusia Bugis ; 2006).

Kemudian pakar Mattulada menguraikan pula bahwa, penduduk purba Sulawesi Selatan selain berciri fisik Austro-Melanesoid dan Paleo-Mongoloid yang berlangsung dalam satu zaman, yaitu masa belum mengenal kepandaian bercocok tanam, yaitu kira-kira 11.000 tahun SM (Mattulada ; 1998).

Persebaran orang Austro-Melanesoid dari Pulau Irian ke kepulauan yang terletak di sebelah barat daya dan kembali menyebar ke pulau-pulau disebelah baratnya. Demikian pula halnya dengan persebaran orang Austro-Melanesoid yang di Pulau Jawa ke sebelah barat dan utara sampai ke Vietnam Utara. Arus sebaliknya terjadi pula pada penebaran Proto-Mongoloid dari Kepulauan Jepang melalui Riukyu, Taiwan dan Filipina yang selanjutnya ke Sulawesi. Kemudian terjadilah percampuran ras dan kebudayaan, maka itulah kiranya yang menjadi masyrakat pertama di Sulawesi Selatan yang terjadi antara tahun 1000 sampai tahun 2000 SM (Mattulada ; 1998).

Sekiranya kemudian ada yang menanyakan, ; “Siapakah nama nama manusia pertama di Sulawesi Selatan ?”. Wahai, kenapa terlalu jauh pertanyaannya ?, pasti demikianlah keluhku. Menanyakan penduduk pertama di Sulawesi Selatan, padahal “ayah kakek buyutnya sendiri belum tentu diketahuinya dan takkan pernah ditanyakannya”. Namun sudahlah, kiranya penuturan inipun akhirnya tiba pada perihal Tomanurung dan To Tompo, leluhur Raja-Raja di Sulawesi.

Hampir setiap kerajaan di Sulawesi memiliki kronik perihal berdirinya kerajaan dan raja/ratu pertamanya dan turunannya. Mereka yang adalah penguasa awal di negeri itu disebutnya sebagai “Tomanurung” (orang yang turun dari langit) atau pun “To Tompo” (orang yang muncul dari dunia bawah).

Mereka adalah para tokoh yang “disifatkan” sebagai “dewata” yang turun ataupun muncul ditengah masyarakat untuk mengakhiri masa kacau balau yang dikenal sebagai “SianrE BalE” (saling memakan bagai ikan). Maka hal ini, menurut hemat penulis, semoga kiranya berhubungan dengan sosok sebagaimana disebutkan Kitab Suci Al Qur’an sebagai “Ulul Albab” (peringatan bagi orang-orang yang berpikir). Bahwa Allah SWT berfirman : “Yu’til khikmata man yasyaa’, wa man yu’tal khikmata faqod uutiya khoiron katsiro, wa maa’ yazzakkaru illaa ulul ‘albaab” (QS. Al Baqarah ; 269), artinya : Dianugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dikaruniai anugerah yang banyak. Dan hanya orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran. Kiranya itu pula janji Allah SWT bagi hamba-Nya yang berilmu pengetahuan.

Mereka para Ulul Albaab dalam kronik pada banyak negeri di Sulawesi Selatan itu menyebutkan banyak To Manurung dan To Tompo, diantaranya :

- La Toge’langi Batara Guru “La Mula Tau” Sunge’ ri Sompa Aji Sangkuruwirang, ManurungngE ri Tellampulaweng, Pajung ri Luwu I, menikah dengan We Nyilli’ Timo SolasinrangempEro Dinulu WElompEloja I Mata Timo, Tompo’E ri Bussa Empo,

- TurubElaE “Laurempessi” ri Coppo’mEru, ManurungngE ri Sawammegga, Datu Tompotikka I, menikah dengan We Padauleng, ManurungngE ri SingkiriwEro,

- Aji ri Sompa La Tenriangke’ Batara IlE ri Taliungna Langi ManurungngE ri Tellampulaweng, Datu Cina I (versi I La Galigo), menikah dengan We Tenri Bilang,

- Tejjo ri Sompa LettEmangkella I La Toliung Tompo’E Batara WEwang Sumange’rukka PajumpongaE ri WEwangriu, menilkah dengan ManurungngE Polaleng TojampulawengngE,

- La Raullangi To Sadangpotto ManurungngE ri Timpalaja, menikah dengan PolalengngE Ajuara Lallo ri Tungo,

- Simpurusiang ManurungngE ri Lompo, Datu Cina (pasca I La Galigo),

- Simpurusiang Salinrunglangi Mutia Kawa Opunna Ware’ ManurungngE ri Awo Lagading Pajung ri Luwu III, menikah dengan We Patyanjala Tompo’E ri Bussa Empo (pasca I La Galigo),

- La Matatikka Tompo’E ri Buakkajeng, menikah dengan Linge’ Manasa Ana’na MAnurungngE ri Sawitto,

- Pong Mulatau ri Rura,

- Tokombong di Wura’ menikah dengan To WissE di Tallang,

- Puang Tamboro Langi “Datu Matampu” To Matasa’ ri LEpongna Bulan Tomanurung ri Kandora’ menikah dengan Puang Sandabili’ Tumanurung ri Kairo,

- Puang Tandilino Tobanua Puang ri Sarumbano – Marinding,

- Puang ri Ranri’ Tumanurung ri Sanggalangi,

- AEng ri Massila Tumanurung ri Salu’putti,

- AEng ri SEsEan Tumanurung ri SEsEan,

- Batara Kassa’ Tumanurung ri Kassa’,

- Londo DEwata Tumanurung ri RantE Bulawang,

- Puang Wellangrilangi Tomanurung ri Bambapuang,

- NEnE’ Matindo Dama PakE Lalona ri Duri I, menikah dengan Cirinna Sambo Langi,

- La Patongai To Pasaja Timpa’E Tana, menikah dengan Puatta ri PalisuE,

- Guru La Sellang Puang Palipada Tomanurung ri Palli Posina Kaluppini,

- La Temmalala’ ManurungngE ri Sekkanyili’, Datu Soppeng I meneikah dengan We Temmapupu ri Suppa,

- La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang Mangkau ri Bone I, menikah dengan We Mattengnga Empo ManurungngE ri Toro’,

- La BungEnge’ ManurungngE ri Bacukiki, menikah dengan We Teppulinge’ Tompo’E ri La Waramparang,

- Tumanurungnga ri TamalatE Sombayya Gowa I, menikah dengan KaraEng Bayo KaraEngta TurijE’nE,

- Uru Tau (Musinigaya Muranawa),

- KaraEng BEnEa Punta Dolangan Tumanurungnga ri Onto,

- ManurungngE ri Lampulungeng,

- ManurungngE ri Timpengeng,

- La Mallibureng ManurungngE ri Lowa, Addaoang Sidenreng I,

- Pancabilukka KaraEngta Sanrobone I,

- Puang ri SompaE ManurungngE ri AkkajangngE Lura MarajaE Sawitto,

- Puang ri Bulu Puang ri Cempa,

- ManurungngE ri Jangang-JangangngE,

- Indra Baji’ KarE’ Layu’ Tusanga Kalabbiranna,

- La Ulawu Tau ManurungngE Datu Lonra,

- ManurungngE ri Tanra Lili,

- ManurungngE ri Patila,

- …..masih banyak lagi yang lainnya.

Para tokoh Manurung dan Tompo yang mengawali terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat tersebut, pada umumnya terjadi diantara Abad XIII – XIV. Mereka dipandang sebagai sosok luar biasa yang memiliki “ kerre’ “ (Karomah) sebagai landasan ligitimasi kepemimpinannya, salahsatunya adalah : Maddara Takku (berdarah putih bagai getahnya pohon takku). Hal ini telah dibuktikan oleh seorang peneliti Eropa yang berkunjung ke Luwu dan menemukan seorang Bangsawan Tinggi Luwu yang bersedia ditusuk jarinya dan darah yang mengucur dari luka itu adalah benar-benar seputih susu (Pelras : 1996).

Prihal “kerre’” ini kemudian dibahas oleh Dr. Shelly Errinton yang mendapati perbedaan kepemimpinan awal dalam sejarah Eropa dan Sulawesi Selatan. Bahwa di Eropa, kepemimpinan seorang tokoh dilegitimasi oleh kekuatan militer, sementara di Sulawesi Selatan dilegitimasi oleh kesucian tokoh atau kerre’ yang dimilikinya. Seorang pemimpin dipandang suci karena kepemimpinannya adalah harapan kemakmuran bagi negerinya, sesuatu yang menyerupai system Teokrasi.
Keberadaan To Manurung dan To Tompo dibuktikan oleh fakta-fakta yang ada, sebagai berikut :

1. Kronik
Pelras (1996) mengemukakan, bahwa hamper semua kerajaan Bugis dengan seluruh daerah bawahannya hingga ke tingkat paling bawah memiliki kronik sendiri. Tradisi penulisan naskah yang kemudian disebut sebagai “Lontara” itu berisi mengenai catatan rinci mengenai silsilah keluarga, wilayah kerajaan, catatan harian serta catatan lain yang dipandang penting, misalnya : daftar kerajaan bawahan serta naskah perjanjian bilateral maupun intra-kerajaan sendiri, yakni antara penguasa dan rakyatnya.

Lebih lanjut beliau menguraikan pula, bahwa Kronik Bugis-Makasar dipuji oleh Ilmuwan Barat sebagai sesuatu yang objektif dan bisa diandalkan kebenarannya. Hal itu, paling tidak berlaku untuk catatan mengenai periode 1400 Masehi dan seterusnya. Saat kronik tersebut ditulis berdasarkan dokumen dan peristiwa nyata yang terjadi pada saat itu.

2. Regalia
Seorang tokoh Tomanurung dan To Tompo senantiasa meninggalkan benda-benda pribadinya yang kemudian menjadi Regalia (Kalompoang/Arajang) pada negerinya. Benda-benda pusaka itu masih dapat dilihat sampai kini, diantaranya :

- DokE Pakka (Bessi PakkaE) di Luwu, peninggalan ManurungngE La Toge’langi Batara Guru,
- La Bunga Waru, peninggalan ManurungngE La Toge’langi Batara Guru,
- Sudanga, peninggalan KaraEng Bayo,
- La’lang SipuEa, peninggalan Manurungnga ri TamalatE,
- La TEakasi, peninggalan La Matatikka Tompo’E ri Buakkajeng,
- BElua’ ManurungngE, rambut ManurungngE ri Sekkanyili’,
- Dll..

3. Legenda Tempat
Daerah-daerah yang dinamai oleh ManurungngE dan Tompo’E masih ada bertebaran di seluruh kawasan Sulawesi Selatan dan Barat hingga saat ini.

4. Gaukeng (tradisi)
Tradisi yang diajarkan oleh ManurungngE dan Tompo’E masih lestari pada kalangan-kalangan tertentu hingga saat ini, misalnya : Alu’ Todolo, Tolotang, Patuntung, dll.

5. Keturunan
Keturunan para ManurungngE dan Tompo’E yang banyak bertebaran di Sulawesi Selatan dan Barat hingga kini masih ada yang dibuktikan dengan pelestarian ke-empat hal diatas.

Adalah hal yang kemudian menjadi penguat dalam memahami hakekat keberadaan para ManurungngE dan Tompo’E, yakni berkat wejangan Puekku Prof. Dr. Andi Ima Kesuma, M.Pd. kepada kami, : “..pahamilah bahwa hakekat Orang Luwu sejak Sawerigading hingga saat ini masih tetap ada, tapi nanti dia dicari barulah dia akan muncul..”.

Nun wal Qolami wamaa yasturuun, Wallahualam Bissawab.
Oleh : Andi Oddang. sumber : grup wija to bone
----------------------------------------------
Daftar Bacaan :
1. Andi Zainal Abidin, Prof. Mr. Dr. ; 1985, Bandung, Alumni;
2. Andi Mattulada, Prof. Dr, ; 1998, Makassar, Universitas Hasanuddin Press;
3. Christian Pelras ; 2006. Manusia Bugis, Jakarta, Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris;
4. Shelly Errinton, Dr : 1977. Makalah ; Siri, Darah dan Kekuasaan Politik Di Dalam Kerajaan Luwu Zaman Dulu, Ujung Pandang, Majalah Bingkisan Sulawesi Selatan Tahun I-II.

Berita Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar


NASIONAL

NEWS


PEMILUKADA

OTONOMI DAERAH

SOSBUD


PILGUB

BONE NEWS

BIROKRASI

OPINI


LAW END CRIME